Sudah 2 tahun semburan lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Bagi kita yang tinggal selain di Jawa Timur mungkin tidak terlalu terasa. Tapi berbeda dengan saudara-saudara kita yang disana. Mereka yang dulu punya kehidupan tenang sekarang harus mulai berusaha dari awal untuk membangun kehidupan mereka seperti semula. Entah siapa sekarang yang harus bertanggung jawab, karena pihak Lapindo mengatakan ini kecelakaan sedangkan Pemerintah juga dinilai tidak bertindak cepat dalam menangani masalah ini.
Semburan lumpur panas itu muncul pertama kalinya pada 29 Mei sekitar pukul 05.00. Terjadinya di areal persawahan Desa Siring, Kecamatan Porong. Kabupaten Sidoarjo sekitar 150 meter barat daya sumur Banjar Panji 1 yang dikerjakan oleh Lapindo Brantas Inc.Selama tiga bulan Lapindo Brantas Inc, yang merupakan anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk, melakukan pengeboran vertikal untuk mencapai formasi geologi yang disebut Kujung pada kedalaman 10.300 kaki. Sampai semburan lumpur pertama itu, yang dalam dunia perminyakan dan gas disebut blow out, telah dicapai kedalaman 9.297 kaki (sekitar 3,5 kilometer). Kedalaman ini dicapai pukul 13.00 dua hari sebelum blow out.
Sesuai kelaziman pada pengeboran di kedalaman tersebut, lumpur berat masuk pada lapisan, disebut loss, yang memungkinkan terjadinya tekanan tinggi dari dalam sumur ke atas atau kick, antisipasinya menarik pipa untuk memasukkan casing yang merupakan pengaman sumur. Ketika penarikan pipa hingga 4.241 kaki, pada 28 Mei, terjadi kick. Penanggulangan ini adalah dengan penyuntikan lumpur ke dalam sumur. Ternyata bor macet pada 3.580 kaki, dan upaya pengamanan lain dengan disuntikan semen. Bahkan pada hari itu dilakukan fish, yakni pemutusan mata bor dari pipa dengan diledakan. Kemudian yang terjadi adalah semburan gas dan lumpur pada subuh esok harinya.
Lumpur yang keluar terus selama tiga bulan ini rata-rata 50.000 meter kubik seharinya. Lumpur ini diduga berasal dari formasi geologi yang disebut Kalibeng pada kedalaman 6.100 sampai 8.500 kaki. Menurut analisis lumpur menunjukkan umur masa Pliosen dan mengandung material volkanik. Pada awal semburan lumpur mengeluarkan gas H2S dengan temperatur mencapai 40 hingga 50 derajat Celcius. Inilah yang melandasi perkiraan para pakar geologi bahwa kejadian semburan lumpur Lapindo merupakan mud volcano, termasuk debit yang mencapai ribuan meter kubik itu dipastikan bukan lumpur pengeboran.
Kejadian mud volcano sendiri merupakan hal yang alami. Di dalam kawasan secara geologi masih menyatu dengan Bledug Kuwu di Kecamatan Kradenan, Kabupaten Purwodadi, Jawa Tengah, atau yang di Sangiran dome. Mekanisme keluarnya lumpur terjadi pada mud volcano adalah terdorong keluar oleh tekanan yang ditimbulkan oleh adanya pencairan dari lapisan lempung di dalam permukaan bumi akibat percampuran dengan air bawah tanah dan keluar melalui patahan (fissure).
Pada lokasi sumur Banjar Panji 1, menurut Arse Kusumastuti, dari laporan ilmiah pada American Association of Petroleum Geologist pada 2002, memang ada patahan yang memotong puncak batu gamping formasi Kujung. Dan juga terdapat colapse atau slump yang secara geologi mengindikasikan adanya lapisan lempung. Kondisi yang diperkirakan serupa dengan di Sangiran dome maupun di Bledug Kuwu. Di lain pihak Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) lebih merasakan kejadian ini tetap merupakan tindakan yang patut diberikan hukuman. Secara sadar sebenarnya mereka mengetahui resiko terjadi kesalahan, yang mungkin terjadi pada permukiman di atas lahan pertambangan.
Semburan lumpur panas itu muncul pertama kalinya pada 29 Mei sekitar pukul 05.00. Terjadinya di areal persawahan Desa Siring, Kecamatan Porong. Kabupaten Sidoarjo sekitar 150 meter barat daya sumur Banjar Panji 1 yang dikerjakan oleh Lapindo Brantas Inc.Selama tiga bulan Lapindo Brantas Inc, yang merupakan anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk, melakukan pengeboran vertikal untuk mencapai formasi geologi yang disebut Kujung pada kedalaman 10.300 kaki. Sampai semburan lumpur pertama itu, yang dalam dunia perminyakan dan gas disebut blow out, telah dicapai kedalaman 9.297 kaki (sekitar 3,5 kilometer). Kedalaman ini dicapai pukul 13.00 dua hari sebelum blow out.
Sesuai kelaziman pada pengeboran di kedalaman tersebut, lumpur berat masuk pada lapisan, disebut loss, yang memungkinkan terjadinya tekanan tinggi dari dalam sumur ke atas atau kick, antisipasinya menarik pipa untuk memasukkan casing yang merupakan pengaman sumur. Ketika penarikan pipa hingga 4.241 kaki, pada 28 Mei, terjadi kick. Penanggulangan ini adalah dengan penyuntikan lumpur ke dalam sumur. Ternyata bor macet pada 3.580 kaki, dan upaya pengamanan lain dengan disuntikan semen. Bahkan pada hari itu dilakukan fish, yakni pemutusan mata bor dari pipa dengan diledakan. Kemudian yang terjadi adalah semburan gas dan lumpur pada subuh esok harinya.
Lumpur yang keluar terus selama tiga bulan ini rata-rata 50.000 meter kubik seharinya. Lumpur ini diduga berasal dari formasi geologi yang disebut Kalibeng pada kedalaman 6.100 sampai 8.500 kaki. Menurut analisis lumpur menunjukkan umur masa Pliosen dan mengandung material volkanik. Pada awal semburan lumpur mengeluarkan gas H2S dengan temperatur mencapai 40 hingga 50 derajat Celcius. Inilah yang melandasi perkiraan para pakar geologi bahwa kejadian semburan lumpur Lapindo merupakan mud volcano, termasuk debit yang mencapai ribuan meter kubik itu dipastikan bukan lumpur pengeboran.
Kejadian mud volcano sendiri merupakan hal yang alami. Di dalam kawasan secara geologi masih menyatu dengan Bledug Kuwu di Kecamatan Kradenan, Kabupaten Purwodadi, Jawa Tengah, atau yang di Sangiran dome. Mekanisme keluarnya lumpur terjadi pada mud volcano adalah terdorong keluar oleh tekanan yang ditimbulkan oleh adanya pencairan dari lapisan lempung di dalam permukaan bumi akibat percampuran dengan air bawah tanah dan keluar melalui patahan (fissure).
Pada lokasi sumur Banjar Panji 1, menurut Arse Kusumastuti, dari laporan ilmiah pada American Association of Petroleum Geologist pada 2002, memang ada patahan yang memotong puncak batu gamping formasi Kujung. Dan juga terdapat colapse atau slump yang secara geologi mengindikasikan adanya lapisan lempung. Kondisi yang diperkirakan serupa dengan di Sangiran dome maupun di Bledug Kuwu. Di lain pihak Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) lebih merasakan kejadian ini tetap merupakan tindakan yang patut diberikan hukuman. Secara sadar sebenarnya mereka mengetahui resiko terjadi kesalahan, yang mungkin terjadi pada permukiman di atas lahan pertambangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar